LAPORAN
PENDAHULUAN
KEPERAWATAN
Disusun dalam rangka memenuhi tugas Komputer
tentang
“Laporan Pendahuluan Keperawatan”
Disusun Oleh:
Warda
Maulida Laili Nailul Fari (13.169)
Dosen Pengajar: Dian
Rahmadin Akbar, S.Kep.Ns
PEMERINTAH KOTA
PASURUAN
DINAS
KESEHATAN
UPT
AKADEMI KEPERAWATAN
TAHUN
AKADEMIK 2013/2014
LAPORAN
PENDAHULUAN
KUSTA (LEPRA)
1.
Definisi
Kusta adalah penyakit
yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang
menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998). Kusta
merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae.
(Mansjoer Arif, 2000)
.
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di
sebabkan oleh mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang
pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut,
saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis (
djuanda, 4.1997 )
Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi
ulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan maifestasi klinis yang luas (
COC, 2003)
2.
Etiologi
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan
asam (BTA) bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan
organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang
kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari
dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan
ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang
disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.
3.
Klassifikasi
Jenis-jenis klassifikasi:
A.
Klassifikasi Madrid (1953)
o Indeterminate (I)
o Tuberkuloid (T)
o Borderline (B)
o Lepromatose (L)
B.
Klassifikasi RIDLEY-JOPLING (1962)
o Tuberkuloid Tuberkuloid (TT)
o Borderline Tuberkuloid (BT)
o Borderline Borderline/= Mid Boderline
(BB)
o Borderline Lepromatose (BL)
o Lepromatose Lepromatose (LL)
C.
Klassifikasi WHO/DEPKES (1981) dan (1988)
o Pausi Basiler (PB)
yg termasuk PB :
-
kusta tipe I, TT dan sbg besar BT dgn
-
BTA negatif menurut klassifikasi Ridley-
-
Jopling dan type I dan T menurut
- Klassifikasi
Madrid
o Multi Basiler (MB)
-
yg tmsk MB:
-
Kusta type LL, BL, BB dgn sebagian BT
Perbedaan Tipe PB dan MB
(menurut klasifikasi WHO/DEPKES RI)
No.
|
Kelainan kulit & hasil pemeriksaan
|
Pause Basiler
|
Multiple Basiler
|
1.
|
Bercak
(makula)
o
jumlah
o ukuran
o distribusi
o konsistensi
o batas
o kehilangan rasa pada bercak
o
kehilangan berkemampuan
berkeringat,berbulu rontok pada bercak
|
1-5
Kecil dan besar
Unilateral atau
bilateral asimetris
Kering dan kasar
Tegas
Selalu ada dan jelas
Bercak tidak berkeringat, ada bulu rontok pada
bercak
|
Banyak
Kecil-kecil
Bilateral, simetris
Halus, berkilat
Kurang tegas
Biasanya tidak jelas,
jika ada terjadi pada yang sudah lanjut
Bercak masih berkeringat, bulu tidak rontok
|
2.
|
Infiltrat
o Kulit
o
membrana mukosa tersumbat
perdarahan dihidung
|
Tidak ada
Tidak pernah ada
|
Ada, kadang-kadang tidak ada
Ada, kadang-kadang tidak ada
|
3.
|
Ciri hidung
|
”central healing” penyembuhan ditengah
|
1.
punched outlession
2.
medarosis
3.
ginecomastia
4.
hidung pelana
5.
suara sengau
|
4.
|
Nodulus
|
Tidak ada
|
Kadang-kadang ada
|
5.
|
Penebalan saraf tepi
|
Lebih sering terjadi dini, asimetris
|
Terjadi pada yang lanjut biasanya lebih dari 1
dan simetris
|
6.
|
Deformitas cacat
|
Biasanya asimetris terjadi dini
|
Terjadi pada stadium lanjut
|
7.
|
Apusan
|
BTA negatif
|
BTA positif
|
4.
Patofisiologi
Mekanisme penularan
yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya
kontak dekat dan penularan dari udara. Selain manusia, hewan yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M.
leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan,
setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di
keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang
berbeda pada setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan
faktor penyebab.
Penyakit ini sering
dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang yang
terinfeksi dan orang yang sehat. Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat
infeksi untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina hingga 55,8 per 1000
per tahun di India Selatan.
Dua pintu keluar dari
M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa
hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah
organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme
tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa
ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri
tahan asam di epidermis. Dalam penelitian
terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah M. leprae yang besar di
lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan
bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar
keringat.
Pentingnya mukosa
hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa,
menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan
bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di
sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari
pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
Pintu masuk dari M.
leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini diperkirakan
bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya bakteri.
Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem imunnya. Laporan yang berhasil juga
dikemukakan dengan pencobaan pada mencit dengan pemaparan bakteri di lubang
pernapasan. Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran pernapasan adalah
rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun
demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha
mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa
minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum
dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke
daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata
dari kusta adalah 3-5 tahun.
5.
Manifestasi klinis
Menurut WHO (1995)
diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinalberikut: 1) Adanya
lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya
hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga
biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit
merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi
sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. 2) BTA positif, Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan
kulit. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.
Untuk para petugas
kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup dibedakan atas dua
jenis yaitu:
A.
Kusta bentuk kering (tipe
tuberkuloid)
Merupakan bentuk yang tidak menular. Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang
logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung,
pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama
sekali, kadang-kadang tepinya meninggi. Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat
saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih
jelas.
Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih
sering terjadi dan timbul lebih awal dari pada bentuk basah. Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif,
berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab. Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan
di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman
kusta cukup tinggi.
B.
Kusta bentuk basah (tipe
lepromatosa)
Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat
ditemukan baik di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain. Jumlahnya
lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya
tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta. Kelainan kulit bisa berupa
bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai
penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan
berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang
sebesar di badan, muka dan daun telinga. Sering disertai rontoknya alis mata,
menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena
rusaknya tulang rawan hidung. Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada
fase lanjut dari perjalanan penyakit. Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka
singa” (facies leonina).
Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk
pertengahan atau perbatasan (tipe borderline) yang gejala-gejalanya
merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan
jenis kusta basah.
6.
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan
sediaan adalah sebagai berikut:
o
Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
o
Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukan lesi ditempat lain.
o
Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu
ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
o
Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae
ialah:
-
Cuping telinga kiri atau kanan
-
Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
o
Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
-
Tidak menyenangkan pasien
-
Positif palsu karena ada mikobakterium lain
-
Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung
apabila sedian apus kulit negatif.
-
Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih
dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
o
Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
-
Semua orang yang dicurigai menderita kusta
-
Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkusta
-
Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karenatersangka kuman
resisten terhadap obat
-
Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
o
Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl
neelsen atau kinyoun gabett
o
Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig
zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran.
o
Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah
(fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
o
Indeks Bakteri (IB):
Merupakan ukuran semikuantitatif
kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan
mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma
RIDLEY sebagai berikut:
-
0 : bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
-
1 : bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
-
2 : bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
-
3 : bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
-
4 : bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
-
5 : bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
-
6 : bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
o
Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk
utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman,
mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap
obat.
7.
Komplikasi
Gejala klinik reaksi reversal adalah
umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau
timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi
menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin lebih eritematosa, lesi makula
menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi
bertambah luas. Terdapat nyeri saraf dan pembengkakan saraf tepi. Tanda-tanda
dari kerusakan saraf yaitu gangguan sensorik dan kelemahan otot. Demam dan
malaise.
Menurut keadaan reaksi, maka reaksi
kusta tipe 1 dapat dibedakan atas:
a. Reaksi ringan
b. Reaksi berat
Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi tipe 1 :
Gejala Reaksi ringan Reaksi berat
Gejala Reaksi ringan Reaksi berat
1.
Lesi kulit Tambah aktif, menebal, merah, teraba panas, dan
nyeri tekan. Makula yang menebal dapat sampai membentuk plaque.
Lesi membengkak sampai ada yang pecah, merah, teraba panas dan nyeri tekan. Ada
lesi kulit baru, tangan dan kaki membengkak, sendi-sendi sakit.
2.
Saraf tepi Tidak ada nyeri saraf dan gangguan fungsi Nyeri
tekan dan atau gangguan fungsi, misalnya kelemahan otot.
8.
Penatalaksanaan Medis
A.
Prinsip pengobatan
1.
Pemberian obat
anti reaksi
Obat yang dapat
digunakan adalah aspirin, klorokuin, prednison, dan prednisolon sebagai anti
implamasi. Dosis obat yang digunakan sebagai berikut :
o
Aspirin : 600-1200 mg yang diberikan
tiap 4 jam, 4-6 kali sehari
o
Klorokuin : 3x150
mg/hari
o
Prednison :
30-80 mg/hari, dosis tunggal pada pagi hari sesugah makan atau dapat juga
diberikan secara dosis tertinggi misalnya : 4x2 tablet/hari, berangsur-angsur
diturunkan 5-10 mg/2 minggu setelah terjadi respon maksimal.
Untuk melepas
ketergantungan pada kortikosteroid pada reaksi tipe II digunanakan talidomid.
Dosis talidomid 400 mg/hari yang berangsur-angsur ditirunkan sampai 50 mg/hari.
Tidak dianjurkan untuk wanita usia subur karena talidomid bersifat teratogenik.
Setiap 2 minggu
pasien harus diperiksa ulang untuk mellihat keadaan klinis. Bila tidak ada
perbaikan maka dosis prednison yang diberikan dapat dilanjutkan 3-4 minggu atau
dapat ditingkatkan (misalnya dari 15 mg menjadi 20 mg sehari). Setelah ada
perbaikan dosis diturunkan.
Untuk mencegah
ketergantungan terhadap steroid, dapat diberikan klofazimin. Klofazimin hanya
diberikan pada reaksi tipe II (ENL kronis). Dosis klofazimin ditinggikan dari
dosis pengobatan kusta. Untuk orang dewasa 3x100 mg/hari selama 1 bulan. Bila
reaksi sudah berkurang maka dosis klofazimin itu diturunkan menjadi 2 x 100
mg/hari, selama 1 bulan diturunkan lagi menjadi 1 x 100 mg/ hari selama 1
bulan. Setelah reaksi hilang pengobatan kembali ke dosis semula, yaitu 50
mg/hari.
2.
Istirahat/imobilisasi
3.
Pemberian
analgesik dan sedatif
Obat yang digunakan sebagai analgesik
adalah aspirin, parasetamol, dan antimon. Aspirin masih merupakan obat yang
terbaik dan termurah untuk mengatasi nyeri (aspirin digunakan sebagai
antiinflamasi dan analgesik). Menurut WHO (1998), parasetamol juga dapat
digunakan sebagai analgesik. Sedangkan antimon yang digunakan pada reaksi tipe
II untuk mengatasi rasa nyeri sendi dan tulang kini jarang dipakai karena
kurang efektif dan toksin. Dosis obat yang digunakan sebagai berikut :
o
Aspirin : 600-1200 mg yang diberikan
tiap 4 jam, 4-6 kali sehari
o
Parasetamol : 300-1000 mg yang diberikan tiap 4-6
x sehari (dewasa)
o
Antimon : 2-3 ml diberikan secara selangn
seling, maksimum 30 ml.
4.
Obat-obat kusta
diteruskan dengan dosis tidak diubah
Untuk semua tipe reaksi, bila tidak ada
kontra indikasi, semua obat anti kusta dosis penuh harus tetap diberikan.
B.
Pengobatan reaksi ringan
1. Pemberian obat antireaksi.
Aspirin dan talidomin biasa digunakan
untuk reaksi. Bila dianggap perlu dapat diberikan klorokuin selama 3-5 hari.
2.
Istirahat/imobilisasi
Berobat jalan
dan istirahat dirumah
3.
Pemberian
analgetik dan sedatif
Pemberian obat
analgetik dan penenang bila perlu
4.
Obat-obat kusta
diteruskan dengan dosis tidak diubah.
C.
Pengobatan Reaksi Berat
1. Pemberian obat anti
Reaksipada
reaksi berat diberikan preednison dalam dosis tunggal atau terbagi
2.
Istirahat/imobilisasi
Imobilisasi
lokal pada anggota tubuh yang mengalami neuritis. Bila memungkinkan pasien
dirawat inap di rumah sakit.
3.
Pemberian
analgetik dan sedatif
4.
Obat-obat kusta
diteruskan dengan dosis tidak diubah
KONSEP ASUHAN
KEPERAWATAN
A. Diagnosa Keperawatan
1. Integritas kulit yang berhubungan
dengan lesi dan proses inflamasi.
2.
Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan .
3.
Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik.
4.
Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan
dan kehilangan fungsi tubuh.
B.
Intervensi
v Diagnosa 1
o
Tujuan
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur
sembuh.
o
Kriteria hasil
-
Menunjukkan regenerasi jaringan
-
Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
o
Intervensi
-
Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi
sekitar luka
-
Rasional : Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi
proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
-
Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
-
Rasional : Menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi
pada jaringan sekitar.
o
Evaluasi
-
warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran
pada jaringan sekitar
-
Rasional : Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan
mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
-
Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam
-
Rasional : Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk
mempertahankan kebersihan lesi
-
istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
-
Rasional : Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses
penyembuhan
v Diagnosa 2
o
Tujuan
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur
hilang
o
Kriteria hasil
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan nyeri
berkurang dan beraangsur-angsur hilang
o
Intervensi
-
Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
-
Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam
memberikan intervensi.
-
Observasi tanda-tanda vital
-
Rasional : Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan
pasien
-
Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi
-
Rasional : Dapat mengurangi rasa nyeri
-
Atur posisi senyaman mungkin
-
Rasional : Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri
-
kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
-
Rasional : Menghilangkan rasa nyeri
v Diagnosa 3
o
Tujuan
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan aktivitas
dapat dilakukan
o
Kriteria hasil
-
Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari,
-
Kekuatan otot penuh
o
Intervensi
-
Pertahankan posisi tubuh yang nyaman
-
Rasional : Meningkatkan posisi fungsional pada
ekstremitas
-
Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit
-
Rasional : Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada
ekstremitas
-
Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif
kemudian aktif
-
Rasional : Mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan
pemeliharaan fungsi otot/ sendi
-
Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode
istirahat
-
Rasional : Meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas
-
Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan
-
Rasional : Menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam
perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan
v Diagnosa 4
o
Tujuans
setelah
dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal dan konsep
diri meningkat
o
Kriteria hasil
-
Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
-
Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
o
Intervensi:
-
Kaji makna perubahan pada pasien
-
Rasional : Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini
memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal
-
Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan
perilaku menarik diri.
-
Rasional : penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang
terjadi membantu perbaikan
-
Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan
kenyakinan yang salah
-
Rasional : meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk
menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas
-
Berikan penguatan positif
-
Rasional : Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping
positif
-
Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat
-
Rasional : meningkatkan ventilasi
perasaan dan memungkinkan respon yang lebih membantu pasien
DAFTAR PUSTAKA
o
Graber,Mark
A,1998,Buku Saku Kedokteran university of
IOWA,EGC,Jakarta
o
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III,
media Aeuscualpius, Jakarta.
o
Juall, Lynda,1999 Rencana Asuhan Keperawatan Dan
Dokumentasi Keperawatan Edisi II, EGC. Jakarta,
o
Departemen
Kesehatan RI Dirjen P2M dan PLP, 1996, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit
Kusta, Jakarta.
o
Harahap, M.
1997. Diagnosis and Treatment of Skin Infection, Blackwell Science, Australia
o
Adhi, N. Dkk,
1997. Kusta, Diagnosis dan Penatalaksanaan, FK UI, Jakarta.