Jumat, 06 Desember 2013

Diposting oleh wardaal-ghozali di 18.57

LAPORAN PENDAHULUAN
KEPERAWATAN
Disusun dalam rangka memenuhi tugas Komputer tentang
“Laporan Pendahuluan Keperawatan



Disusun Oleh:
            Warda Maulida Laili Nailul Fari (13.169)

         Dosen Pengajar: Dian Rahmadin Akbar, S.Kep.Ns


PEMERINTAH KOTA PASURUAN
DINAS KESEHATAN
UPT AKADEMI KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2013/2014


LAPORAN PENDAHULUAN
KUSTA (LEPRA)
1.             Definisi
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998). Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000) .
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis ( djuanda, 4.1997 )
Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi ulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan maifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)

2.             Etiologi
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.
3.             Klassifikasi
Jenis-jenis klassifikasi:
A.           Klassifikasi Madrid (1953)
o   Indeterminate (I)
o   Tuberkuloid (T)
o   Borderline (B)
o   Lepromatose (L)

B.            Klassifikasi RIDLEY-JOPLING (1962)
o   Tuberkuloid Tuberkuloid (TT)
o   Borderline Tuberkuloid (BT)
o   Borderline Borderline/= Mid Boderline (BB)
o   Borderline Lepromatose (BL)
o   Lepromatose Lepromatose (LL)

C.            Klassifikasi WHO/DEPKES (1981) dan (1988)
o   Pausi Basiler (PB)
yg termasuk PB :
-          kusta tipe I, TT dan sbg besar BT dgn
-          BTA negatif menurut klassifikasi Ridley-
-          Jopling dan type I dan T menurut
-    Klassifikasi Madrid
o   Multi Basiler (MB)
-          yg tmsk MB:
-          Kusta type LL, BL, BB dgn sebagian BT

Perbedaan Tipe PB dan MB
(menurut klasifikasi WHO/DEPKES RI)
No.
Kelainan kulit & hasil pemeriksaan
Pause Basiler
Multiple Basiler
1.
Bercak (makula)
o    jumlah
o    ukuran
o    distribusi

o    konsistensi
o    batas
o    kehilangan rasa pada bercak

o    kehilangan berkemampuan berkeringat,berbulu rontok pada bercak

1-5
Kecil dan besar
   Unilateral atau bilateral asimetris
Kering dan kasar
Tegas
Selalu ada dan jelas


Bercak tidak berkeringat, ada bulu rontok pada bercak

      Banyak
      Kecil-kecil
      Bilateral, simetris

      Halus, berkilat
      Kurang tegas
     Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi pada yang sudah lanjut
    Bercak masih berkeringat, bulu tidak rontok
2.
Infiltrat
o    Kulit

o    membrana mukosa tersumbat perdarahan dihidung

      Tidak ada

      Tidak pernah ada

  Ada, kadang-kadang tidak ada
    Ada, kadang-kadang tidak ada
3.
Ciri hidung
”central healing” penyembuhan ditengah
1.      punched outlession
2.      medarosis
3.      ginecomastia
4.      hidung pelana
5.      suara sengau
4.
Nodulus
Tidak ada
Kadang-kadang ada
5.
Penebalan saraf tepi
Lebih sering terjadi dini, asimetris
Terjadi pada yang lanjut biasanya lebih dari 1 dan simetris
6.
Deformitas cacat
Biasanya asimetris terjadi dini
Terjadi pada stadium lanjut
7.
Apusan
BTA negatif
BTA positif

4.             Patofisiologi
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Selain manusia, hewan yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.
Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat. Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.
Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya bakteri. Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem imunnya. Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan pada mencit dengan pemaparan bakteri di lubang pernapasan. Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

5.              Manifestasi klinis
Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinalberikut: 1) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. 2) BTA positif, Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.
Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup dibedakan atas dua jenis yaitu:
A.               Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
Merupakan bentuk yang tidak menular. Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi. Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas.
Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal dari pada bentuk basah. Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab. Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi.

B.               Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain. Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta. Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga. Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung. Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit. Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina).
Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan (tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.

6.             Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
o   Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
o   Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi ditempat lain.
o   Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
o   Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:
-            Cuping telinga kiri atau kanan
-            Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
o   Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
-            Tidak menyenangkan pasien
-            Positif palsu karena ada mikobakterium lain
-            Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.
-            Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
o   Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
-            Semua orang yang dicurigai menderita kusta
-            Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkusta
-            Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karenatersangka kuman resisten terhadap obat
-            Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
o   Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett
o   Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran.
o   Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
o   Indeks Bakteri (IB):
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
-            0 : bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
-            1 : bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
-            2 : bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
-            3 : bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
-            4 : bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
-            5 : bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
-            6 : bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
o   Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.

7.             Komplikasi
Gejala klinik reaksi reversal adalah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin lebih eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah luas. Terdapat nyeri saraf dan pembengkakan saraf tepi. Tanda-tanda dari kerusakan saraf yaitu gangguan sensorik dan kelemahan otot. Demam dan malaise.
Menurut keadaan reaksi, maka reaksi kusta tipe 1 dapat dibedakan atas:
a.       Reaksi ringan
b.      Reaksi berat
Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi tipe 1 :
Gejala Reaksi ringan Reaksi berat
1.      Lesi kulit Tambah aktif, menebal, merah, teraba panas, dan nyeri tekan. Makula yang   menebal dapat sampai membentuk plaque. Lesi membengkak sampai ada yang pecah, merah, teraba panas dan nyeri tekan. Ada lesi kulit baru, tangan dan kaki membengkak, sendi-sendi sakit.
2.      Saraf tepi Tidak ada nyeri saraf dan gangguan fungsi Nyeri tekan dan atau gangguan fungsi, misalnya kelemahan otot.

8.             Penatalaksanaan Medis
A.    Prinsip pengobatan
1.       Pemberian obat anti reaksi
Obat yang dapat digunakan adalah aspirin, klorokuin, prednison, dan prednisolon sebagai anti implamasi. Dosis obat yang digunakan sebagai berikut :
o    Aspirin                 : 600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari
o     Klorokuin                        : 3x150 mg/hari
o    Prednison             : 30-80 mg/hari, dosis tunggal pada pagi hari sesugah makan atau dapat juga diberikan secara dosis tertinggi misalnya : 4x2 tablet/hari, berangsur-angsur diturunkan 5-10 mg/2 minggu setelah terjadi respon maksimal.
Untuk melepas ketergantungan pada kortikosteroid pada reaksi tipe II digunanakan talidomid. Dosis talidomid 400 mg/hari yang berangsur-angsur ditirunkan sampai 50 mg/hari. Tidak dianjurkan untuk wanita usia subur karena talidomid bersifat teratogenik.
Setiap 2 minggu pasien harus diperiksa ulang untuk mellihat keadaan klinis. Bila tidak ada perbaikan maka dosis prednison yang diberikan dapat dilanjutkan 3-4 minggu atau dapat ditingkatkan (misalnya dari 15 mg menjadi 20 mg sehari). Setelah ada perbaikan dosis diturunkan.
Untuk mencegah ketergantungan terhadap steroid, dapat diberikan klofazimin. Klofazimin hanya diberikan pada reaksi tipe II (ENL kronis). Dosis klofazimin ditinggikan dari dosis pengobatan kusta. Untuk orang dewasa 3x100 mg/hari selama 1 bulan. Bila reaksi sudah berkurang maka dosis klofazimin itu diturunkan menjadi 2 x 100 mg/hari, selama 1 bulan diturunkan lagi menjadi 1 x 100 mg/ hari selama 1 bulan. Setelah reaksi hilang pengobatan kembali ke dosis semula, yaitu 50 mg/hari.
2.       Istirahat/imobilisasi
3.       Pemberian analgesik dan sedatif
Obat yang digunakan sebagai analgesik adalah aspirin, parasetamol, dan antimon. Aspirin masih merupakan obat yang terbaik dan termurah untuk mengatasi nyeri (aspirin digunakan sebagai antiinflamasi dan analgesik). Menurut WHO (1998), parasetamol juga dapat digunakan sebagai analgesik. Sedangkan antimon yang digunakan pada reaksi tipe II untuk mengatasi rasa nyeri sendi dan tulang kini jarang dipakai karena kurang efektif dan toksin. Dosis obat yang digunakan sebagai berikut :
o    Aspirin                 : 600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari
o    Parasetamol          : 300-1000 mg yang diberikan tiap 4-6 x sehari (dewasa)
o    Antimon               : 2-3 ml diberikan secara selangn seling, maksimum 30 ml.

4.       Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah
Untuk semua tipe reaksi, bila tidak ada kontra indikasi, semua obat anti kusta dosis penuh harus tetap diberikan.
B.     Pengobatan reaksi ringan
1.      Pemberian obat antireaksi.
Aspirin dan talidomin biasa digunakan untuk reaksi. Bila dianggap perlu dapat diberikan klorokuin selama 3-5 hari.
2.      Istirahat/imobilisasi
Berobat jalan dan istirahat dirumah
3.      Pemberian analgetik dan sedatif
Pemberian obat analgetik dan penenang bila perlu
4.      Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah.

C.    Pengobatan Reaksi Berat
1.      Pemberian obat anti
Reaksipada reaksi berat diberikan preednison dalam dosis tunggal atau terbagi
2.      Istirahat/imobilisasi
Imobilisasi lokal pada anggota tubuh yang mengalami neuritis. Bila memungkinkan pasien dirawat inap di rumah sakit.
3.      Pemberian analgetik dan sedatif
4.      Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah







KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A.      Diagnosa Keperawatan
1.    Integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.
2.    Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan .
3.    Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik.
4.    Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh.

B.       Intervensi
v  Diagnosa 1
o   Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur sembuh.
o   Kriteria hasil          
-          Menunjukkan regenerasi jaringan
-          Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
o   Intervensi
-           Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka
-          Rasional  :  Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
-          Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
-          Rasional  :  Menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.
o   Evaluasi
-          warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada jaringan sekitar
-          Rasional : Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
-          Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam
-          Rasional : Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi
-          istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
-          Rasional  :  Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan

v  Diagnosa 2
o   Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur hilang
o   Kriteria hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang
o   Intervensi           
-          Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
-          Rasional  :  Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.
-          Observasi tanda-tanda vital
-          Rasional  :  Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien
-          Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi
-          Rasional  :  Dapat mengurangi rasa nyeri
-          Atur posisi senyaman mungkin
-          Rasional  :  Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri
-          kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
-          Rasional  :  Menghilangkan rasa nyeri

v  Diagnosa 3
o   Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan aktivitas dapat dilakukan
o   Kriteria hasil
-          Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari,
-          Kekuatan otot penuh
o   Intervensi
-          Pertahankan posisi tubuh yang nyaman
-          Rasional  :  Meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas
-          Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit
-          Rasional  :  Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas
-          Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian aktif
-          Rasional : Mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi
-          Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode istirahat
-          Rasional : Meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas
-          Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan
-          Rasional : Menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan

v  Diagnosa 4
o   Tujuans
setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri meningkat
o   Kriteria hasil
-          Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
-          Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
o   Intervensi:
-          Kaji makna perubahan pada pasien
-          Rasional : Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal
-          Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku menarik diri.
-          Rasional : penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan
-          Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan yang salah
-          Rasional : meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas
-          Berikan penguatan positif
-          Rasional : Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif
-          Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat
-          Rasional :  meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih membantu pasien


DAFTAR PUSTAKA

o   Graber,Mark A,1998,Buku Saku Kedokteran university of IOWA,EGC,Jakarta
o   Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta.
o   Juall, Lynda,1999 Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II, EGC. Jakarta,
o   Departemen Kesehatan RI Dirjen P2M dan PLP, 1996, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta.
o   Harahap, M. 1997. Diagnosis and Treatment of Skin Infection, Blackwell Science, Australia
o   Adhi, N. Dkk, 1997. Kusta, Diagnosis dan Penatalaksanaan, FK UI, Jakarta.



0 komentar:

Posting Komentar

 

1d|WardaMaulidaLailiNailulFari|kusta Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei